Senin, 11 Oktober 2010

Makna Kematian

Serat Syekh Siti Jenar yang seringkali disalah tafsirkan oleh kebanyakan orang karena kurangnya pemahaman secara mendalam tentang apa yang terkandung didalamnya sehingga sosok Syekh Siti Jenar sendiri dianggap kontroversial bagi sebagian kalangan, bahkan oleh para wali ketika itu. Pandangan Siti Jenar akan segala sesuatu sendiri termasuk tentang kehidupan beragama dan syariat dianggap melenceng dari kaidah-kaidah pada saat itu. Bukan karena pandangannya yang salah, melainkan memang cara berfikir Siti Jenar sekian abad lebih maju dari pemikiran masyarakat kala itu, sehingga bila tak dilihat secara ‘mendalam’ dan dipahami secara setengah-setengah maka pola pikir Sang Syekh dianggap ‘murtad’.
Tentang “kematian”ini sendiri, dalam pandangan Syekh Siti Jenar bukanlah kematian yang sering ditafsirkan oleh kebanyakan orang. Kematian menurutnya adalah kehidupan ini, sedangan alam kematianlah yang sebenarnya merupakan kehidupan sejati, kehidupan yang langgeng dan rahayu, tak terikat pada kejasmanian, kematerian yang tak langgeng. Kehidupan yang sesungguhnya tak akan pernah tersentuh kematian. Kehidupan di dunia ini tak lebih sebagai panggung sandiwara. Bila para pemain ‘sandiwara’ sudah ribut dan bikin aturan main sendiri-sendiri maka akan repotlah sang sutradara, sang dalang, sang pengatur kehidupan.
Dalam masalah kepatuhan terhadapNya, menurut Siti Jenar yang dikemukakan penulis dalam buku ini, iman bukan hanya sekadar retorika atau teori yakni hanya berupa kepercayaan atau menelan mentah2 bunyi ayat-ayat suci, namun merupakan penghayatan, pengalaman dan pengamalan kebenaran.
Dijelaskan pula bahwa ketakwaan itu berkaitan dengan kebenaran, dan kebenaran itu bukanlah sebuah teori akan tetapi sebuah praktik dalam kehidupan, yang mengikuti hati nurani. Jadi orang yang bertakwa merupakan orang yang selalu mengikuti nuraninya, mengikuti kehendakNya.
Dalam bab X, Achmad Chojim mengupas tentang ‘penolakan syariat’ yang terdapat dalam salah satu pupuh, serat Syekh Siti Jenar. Achmad Chojim sendiri tak menterjemahkan pupuh tersebut mentah-mentah dari bahasa aslinya (jawa) ke dalam bahasa Indonesia. Karena dapat menimbulkan salah tafsir karena menurutnya bait dalam syair tersebut sangat sensitive. Namun beliau mennjabarkan dengan jelas apa yang terkandung di dalamnya. Seperti misalnya “ Sadat, salat, pasa tan apti ‘,’iku wis palson kabeh’ Syahadat, shalat, puasa tanpa terkecuali’,’semuaanya palsu belaka’. Yang dapat ditangkap dari kata-kata tersebut adalah Siti Jenar dianggap menolak syariat, dan syariat dianggap sebagai omong kosong belaka. Padahal yang dimaksudkan didalamnya tidaklah demikian. Pada masa itu, segala sesuatu yang dianggap secara ritual menurut Siti Jenar sudah tak ada artinya lagi bila dilakukan hanya sebatas formalitas, bukan tindakan nyata. Bila ibadat telah menjadi palsu, tak dapat dipegangi dan hanya untuk membohongi orang lain, maka semua hanya menjadi keburukan dimuka bumi. Hal ini juga disebutkan dalam Al Qur’an yang mengkritisi masalah shalat dalam surah Al-Ma’un (107):4-7 yakni “Celakalah bagi orang yang mengerjakan shalat tetapi mengabaikan makna dan tujuan shalatnya. Orang yang riya’ dan enggan memberi pertolongan”.
Membaca karya Achmad Chojim dalam buku ini, kita diajak mengetahui secara mendalam tentang “islam-jawa, yakni proses asimilasi Islam dan Jawa. Ajaran dalam Al Qu’ran yang disandingkan dengan kehidupan berbudaya masyarakat jawa kala itu, tak lebih agar apa yang terkandung dalam ajaran islam tak semata-mata hanya teori belaka, namun bagaimana menerapkan iman, syariat dan ketakwaan dalam kehidupan yang sedang kita jalani, yang merupakan persiapan untuk kehidupan yang langgeng di kemudian hari.
Achmad Chojim sendiri dikenal karena pendekatannya yang disebut sebagai ‘Islam esoteris’, yakni pemahaman islam lebih dari symbol-simbolnya. Islam dipahami dalam arti melebihi segi lahiriah, yakni ketingkat yang lebih tinggi batiniah. Sebelumnya di tahun 2000, Achmad Chojim terlibat dalam penulisan buku bersama Anand Khrisna dan Moulana Wahidudin Khan dalam “Islam esoteris”. Bisa jadi karena pandangan mereka (Achmad chojim dan Anand Khisna – saya tak terlalu mengenal Moulana Wahidudin Khan :) ) tentang kehidupan beragama sejalan, maka ketika membaca buku Achmad Chojim, saya seperti membaca keharmonian dan pencerahan dalam hidup yang sering ditulis oleh Anand khrishna. Meski beberapa waktu yang lalu buku-bukunya (Anand Khrishna) sempat ditarik dari peredaran, namun tak dapat dipungkiri bahwa tulisan-tulisan beliau sebagian besar bersifat mendamaikan dan menyejukkan, tentu dengan pemahaman mendalam tanpa prasangka.
Mengulas bait-bait dalam Serat Syekh siti Jenar dan pemikiran ‘jauh’nya juga mengingatkan saya pada Buku Anand Khrisna “Tetap Waras di Zaman Edan : Visi Ronggowarsito bagi orang modern” yang terbit th 1998, dimana pandangan sang pujangga (yang belakangan saya ketahui juga mengikuti ajaran Siti Jenar) kala itu ternyata masih relevan dengan kehidupan sekarang ini (saat itu ditulis ketika terjadi kerusuhan pasca tragedi 1998 dan membahas bait demi bait dari serat Ronggowarsito).
Buku ini, menarik, bisa dibaca siapa saja, bahkan dibaca oleh orang dengan keyakinan berbedapun, karena buku ini anti SARA, anti prasangka, anti Pembenaran terhadap diri sendiri. Yang pasti tiap orang memiliki pandangan berbeda, hanya seberapa jauh kita dapat mengubah perbedaan tersebut agar tak menjadi hal yang merugikan bagi orang lain, itulah yang harus kita pahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar