Senin, 01 November 2010

Selametan


Dalam tradisi kejawan banyak dijumpai upacara-upacara ’selamatan’ dengan berbagai perlengkapan ‘ubo-rampenya’. Jika diteliti dengan seksama maka upacara selamatan tersebut merupakan wujud dari suatu doa. Doa dengan sanepan alias perlambang. Doa bil isyaroh sebenarnya.
Doa bil isyarah. Apa artinya ? Yang saya maksudkan dengan doa bil isyarah adalah berdoa dengan diwujudkan dalam berbagai perlambang dan tingkah laku dalam kehidupan. Contoh yang nyata adalah orang bekerja. Bekerja pekerjaan apa saja, tentu pekerjaan yang baik dalam arti yang sebenarnya. Dalam bahasa agama disebut dengan terminologi pekerjaan yang halal. Bekerja jika diniati yang benar maka merupakan suatu perwujudan dari doa dengan perbuatan nyata.
Dalam tradisi Jawa banyak kita jumpai upacara-upacara adat yang sebenarnya merupakan doa bil isyarah, doa dengan wujud perlambang atau sanepan. Misalnya ketika ada orang hajadan ‘mantenan’ (mengwinkan) anaknya misalnya. Bagi orang Jawa maka tidak akan ketinggalan pasti ada daun janur, daun beringin dan juga batang tebu. Itu semua merupakan ungkapan doa dan harapan kepada Allah swt, Gusti Kang Akaryo Jagad.
Janur di’kirotobosokan’ dengan kata ‘ngejan-ngejan’ (arep-arep=berharap) sedangkan Nur artinya cahaya. Maknanya berharap akan kemuliaan yang merupakan berkah dari Ilahi kepada pengantin berdua. Janur juga sebagai simbul kelapa, dalam hal ini cengkir yang berarti ngencengke pikir atau membulatkan tekad. Artinya bagi mempelai berdua diharapkan untuk membulatkan tekad untuk mengarungi kehidupan baru. Tebu dimaknai antebing kalbu. Artinya juga sama, ketekadan yang bulat.
Selamatan Mitoni atau Tingkeban Orang Hamil
Secara umum selamatan mitoni atau ningkebi orang hamil dilaksanakan ketika kehamilan sudah menginjak usia tujuh bulan. Persediaan yang harus ada adalah tumpeng, procot, bubur merah putih atau disebut bubur sengkolo, sego (nasi) golong, rujak sepet ( dari sepet sabut kelapa muda ), cengkir gading dll.
Semua ‘uborampe’ tersebut juga merupakan doa bil isyaroh, doa dengan perlambang. Perlambang-perlambang itu antara lain sebagai berikut :
  • Tumpeng. Tumpeng atau buceng merupakan nasi yang dibentuk menyerupai kerucut, membentuk seakan-akan gunung kecil. Ini merupakan lambang permohonan keselamatan. Bagi masyarakat Jawa gunung melambangkan kekokohan, kekuatan dan keselamatan.
  • Procot. Sejenis penganan terbuat dai ketan yang dibungkus daun pisang bulat memanjang. Dinamakan dengan procot dengan harapan lahirnya si bayi kelak ‘procat-procot’, mudah maksudnya.
  • Bubur sengkolo. Bubur sengkolo itu merupakan bubur dengan warna merah dan putih. Merupakan lambang dari bibit asal-muasal kejadian manusia selepas Bapa Adam dan Ibu Hawa, yaitu diciptakan Allah melalui perantaraan darah merah dan darah putih dari ibu bapak kita. Harapan dari bubur sengkolo adalah mudah-mudahan yang punya hajad itu ‘kalis ing sambikolo’ terlepas dari segala aral bahaya, baik bayinya maupun keluarganya.
  • Sego atau nasi golong. sego golong merupakan doa agar rejekinya ‘golong-golong’ artinya banyak berlimpah ruah.
  • Rujak. Dari kirotobosonya menimbulkan arti ’saru yen diajak’ artinya tidak patut lagi kalau si istri yang lagi hamil tua itu diajak ‘ajimak-saresmi’ lagi demi menjaga si jabang bayi dalam kandungan.
  • Cengkir. Ngencengake pikir artinya membulatkan tekad untuk kelak menyambut kehadiran sang anak yang merupakan ‘titipan Ilahi’. Tekad untuk apa saja ? Ya tekad untuk memelihara dan mendidik hingga menjadi anak yang berbudi pekeri luhur
  • Demikianlah serba sedikit tentang berbagai tradisi yang masih hidup pada masyarakat Jawa. Semua itu ternyata merupakan doa dengan kiasan perlambang atau doa bil isyarah. Jadi jangan cepat-cepat memfonis tahayul dan sebagainya. Karena para leluhur Jawa dahulu memang penuh kehalusan dalam ‘pasemon’ untuk mengungkapkan isi hati. Dari sifat itulah yang kemudian banyak menghasilkan berbagai hasil budaya yang adiluhung misalnya karya batik, wayang kulit, berbagai tembang dan lain sebagainya.
    Salam, Tiknan Tasmaun.
    Wahyu Kamulyan

    Filosofi Nasi Tumpeng

    Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang
    ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu).
    Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik
    yang sifatnya kesedihan maupun gembira.
    
    Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain :
    tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng
    Robyong. Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup.
    Tumpeng robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan
    (Tasyakuran). Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan
    dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan
    kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupi
    tumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau
    semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang.
    
    Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi
    putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik, yaitu:
    
    Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan
    merapatmenyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala
    sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih
    dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa
    diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin
    “naik” dan “tinggi”.
    
    Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu
    kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan
    symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang
    tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan
    sabar (nge”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna
    menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh, red) ayam jago,
    antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan
    merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak
    perhatian kepada anak istri.
    
    Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan
    banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang
    tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol
    ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi
    ekonomi yang paling bawah sekalipun.
    
    Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan
    tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan
    selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.
    
    Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan
    disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga untuk
    memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan
    bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan
    sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
    Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti
    etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat
    perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan
    manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang
    membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
    
    Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung,
    bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan
    kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung
    symbol-simbol antara lain:
    
    kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai.
    Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,
    taoge/cambah yang berarti tumbuh,
    kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative,
    brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala
    sesuatu dengan matang baik buruknya,
    cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan
    penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain.
    Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya.
    Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.
    
    Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan
    menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian
    tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna
    tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat.
    Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk
    orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi
    tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan
    rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup
    mengenai kebersamaan dan kerukunan.
    
    Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan
    waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak
    berarti meski serba kekurangan yang penting tetap berkumpul dengan
    sanak saudara. Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah
    mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan
    orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di
    mana pun orang berada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat
    kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak
    saudaranya.
    
    Mungkin sebaiknya, adakan selamatan dan buatlah nasi tumpeng di Istana
    Negara, dan Bapak Presiden dapat menguraikan terlebih dahulu makna
    yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin
    yang datang terutama para pejabat, tahu akan makna tumpeng dan
    memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat.